Tuesday, April 16, 2013

maturish*t !!

http://www.cartoonstock.com/newscartoons/cartoonists/lfo/lowres/lfon136l.jpg
Source : http://www.cartoonstock.com/newscartoons/cartoonists/lfo/lowres/lfon136l.jpg




Beberapa minggu terakhir ini saya sering sekali kesal. Sebenarnya masalah seperti ini sepele saja, yakni soal menjadi sosok yang tertib, sopan dan tentunya, sabar. Oh ya, saya lupa menjelaskan ihwal kekesalan saya ini. Semenjak bulan Januari awal tahun ini, saya mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pelatihan di Kota Pahlawan Surabaya. Pelatihannya yang dimulai pada akhir Januari ini diadakan di IALF Surabaya, tempat paling nyaman (menurut saya) di kota ini. Empat belas tahun lalu, waktu saya masih duduk di bangku SMA kelas 3 dan menjelang kelulusan, saya bingung sekali menentukan akan melanjutkan pendidikan kemana. Terlepas dari terbatasnya informasi pendidikan tinggi pada waktu itu, saya memiliki kecenderungan untuk tidak memilih Kampus sebagai tujuan belajar, melainkan Kota. Diantara banyaknya Kota yang dapat dipilih sebagai tujuan belajar seperti Makassar, Yogyakarta ataupun Jakarta, Ayah saya bersikeras agar saya tak memilih Surabaya. Walaupun pada waktu itu, sebagian besar sahabat se-kelas saya di SMA terkonsentrasi di kota itu. Walaupun akhirnya hasil UMPTN tahun 2000 menyatakan saya mesti melanjutkan pendidikan di Jayapura, saya masih bertanya-tanya dalam hati mengapa Ayah saya tak setuju saya pergi ke Surabaya.
Selepas kuliah, saya berkesempatan untuk mengajar di salah satu perguruan tinggi swasta di Jayapura. Pekerjaannya menyenangkan sekali, karena sebagai seorang akademisi (ehem..!!) saya kerap diminta melakukan perjalanan untuk berbagai tujuan, seperti mempresentasikan proposal riset atau sekedar mengikuti seminar dan pelatihan di berbagai kota. Nah, karena berbagai kegiatan itulah, saya kemudian mengetahui alasan Ayah melarang saya ke Surabaya karena kotanya yang sangat unfriendly dan kenyataan bahwa terkadang susah sekali menemukan orang yang respek kepada tiap orang disekitarnya di kota ini.
Mengutip Samuel Mulia (kolumnis favorit saya di Kompas), setiap orang terkadang lupa untuk menempatkan diri, entah itu di Ruang Publik atau Ruang Privat. Yang kerap terjadi, terkadang kebiasaan di Ruang Pribadi dibawa ke Ruang Publik. Seperti misalnya di kota ini, ketika saya sedang mengantri untuk membayar belanjaan di toko, beberapa pembeli dengan seenaknya terus saja menyela antrian. Sampai-sampai saya mesti protes kepada petugas di kasir yang tak menegur ataupun mengingatkan pembeli-pembeli “buru-buru” sepeti itu. Contoh lain, sewaktu saya sedang bersama teman-teman untuk makan di salah satu Mall besar di Surabaya. Meskipun saya telah berdiri tepat di hadapan petugas yang melayani order makanan, namun petugas tersebut tak kunjung menanyakan order pesanan saya. Tetapi beberapa orang di sebelah antrian saya malah lebih cepat ditangani. Saya kemudian curiga, jangan-jangan saya berdiri tidak dalam koordinat yang benar untuk melakukan pemesanan. Atau mestinya ada keterangan di situ bahwa yang akan dilayani hanya yang berdiri tepat di arah Barat Daya atau Bujur Timur dari meja kasir sehingga jelas persoalannya. Ketika akhirnya saya dilayani, petugas restauran itu juga ketusnya bukan main. Padahal seingat saya, saya berniat mau membeli paket makanan itu, bukannya meminta.
Pengalaman konyol seperti itu juga sering saya alami di bandara. Sekalipun saya telah berdiri setengah jam lebih hanya untuk check-in, namun ada saja dua-tiga calon penumpang yang menyela antrian. Yang paling parah ketika tiba giliran saya untuk check-in, ada saja beberapa orang yang dengan tergesa-gesa menyerobot giliran saya. Saya lantas jadi curiga, jangan-jangan saya tak kelihatan. Lucunya, kekonyolan penumpang pesawat ini berlanjut hingga ke ruang tunggu. Ketika boarding diumumkan, seluruh penumpang umumya akan berlarian masuk ke kabin seakan khawatir tak kebagian seat didalam pesawat. Padahal sepengalaman saya, selalu ada nomer kursi yang dicantumkan didalam boarding pass.
Pengalaman di jalan raya lebih parah lagi, walaupun menerobos lampu lalu-lintas di sebagian besar kota di Indonesia dianggap sudah biasa. Namun di Surabaya, sebagian kecil warganya justru tidak terlalu sabar untuk menunggu lampu hijau. Bahkan di beberapa waktu, saya kerap menyaksikan mereka menyela kendaraan dari arah berlawanan untuk melintas, padahal sebagian besar orang lainnya tengah menunggu dengan sabar. Yang unik, sebagian kecil pengendara itu lebih senang menunggu tepat di tikungan ketimbang dibelakang “garis putih” penyeberangan. Padahal, sangat berbahaya (menurut saya) jika kita menyela arus kendaraan seperti itu, karena selain hanya akan menambah kemacetan yang (biasanya) sudah parah, peluang terjadinya kecelakaan juga akan semakin besar.
Ah ya! Bicara soal (hampir) celaka, saya justru punya pengalaman seperti itu. Kejadiannya ketika saya dan teman-teman sesama pelatihan hendak menyeberang di Jalan Raya Gubeng yang terkenal sering macet itu. Walaupun kami berempat telah berjalan di zebra cross dan mengangkat tangan tinggi-tinggi pertanda minta jalan, tetap saja arus lalu lintas di situ berlari kencang. Ketika tiba di tengah-tengah jalan, sebuah Innova hitam terus saja melaju tanpa peduli posisi kami di yang berada di tengah. Hampir saja hari itu kami berempat celaka. Untunglah kami berhenti di tengah jalan untuk membiarkan mobil itu melaju duluan.

Peristiwa seperti menyerobot antrian atau mengemudi seenak udel itu (tentunya) bukanlah sesuatu yang menunjukkan rasa hormat kita terhadap seseorang. Tetapi lebih menginterpretasikan diri kita sebagai sosok yang tak tahu diri. Namun, terkadang kita perlu orang-orang selfish seperti itu dalam kehidupan. Baik sebagai pembeda akan diri kita dan mereka maupun sebagai “penguji” akan sikap kedewasaan kita yang (biasanya) sulit diukur. Wallahualam Bis Sawab
 

No comments:

Post a Comment