Source : http://www.cartoonstock.com/newscartoons/cartoonists/lfo/lowres/lfon136l.jpg
Beberapa minggu terakhir ini saya sering sekali kesal. Sebenarnya
masalah seperti ini sepele saja, yakni soal menjadi sosok yang tertib, sopan
dan tentunya, sabar. Oh ya, saya lupa menjelaskan ihwal kekesalan saya ini.
Semenjak bulan Januari awal tahun ini, saya mendapatkan kesempatan untuk
mengikuti pelatihan di Kota Pahlawan Surabaya. Pelatihannya yang dimulai pada
akhir Januari ini diadakan di IALF Surabaya, tempat paling nyaman (menurut
saya) di kota ini. Empat belas tahun lalu, waktu saya masih duduk di bangku SMA
kelas 3 dan menjelang kelulusan, saya bingung sekali menentukan akan
melanjutkan pendidikan kemana. Terlepas dari terbatasnya informasi pendidikan
tinggi pada waktu itu, saya memiliki kecenderungan untuk tidak memilih Kampus
sebagai tujuan belajar, melainkan Kota. Diantara banyaknya Kota yang dapat
dipilih sebagai tujuan belajar seperti Makassar, Yogyakarta ataupun Jakarta, Ayah
saya bersikeras agar saya tak memilih Surabaya. Walaupun pada waktu itu,
sebagian besar sahabat se-kelas saya di SMA terkonsentrasi di kota itu.
Walaupun akhirnya hasil UMPTN tahun 2000 menyatakan saya mesti melanjutkan
pendidikan di Jayapura, saya masih bertanya-tanya dalam hati mengapa Ayah saya
tak setuju saya pergi ke Surabaya.
Selepas kuliah, saya berkesempatan untuk mengajar di
salah satu perguruan tinggi swasta di Jayapura. Pekerjaannya menyenangkan
sekali, karena sebagai seorang akademisi (ehem..!!) saya kerap diminta
melakukan perjalanan untuk berbagai tujuan, seperti mempresentasikan proposal
riset atau sekedar mengikuti seminar dan pelatihan di berbagai kota. Nah,
karena berbagai kegiatan itulah, saya kemudian mengetahui alasan Ayah melarang
saya ke Surabaya karena kotanya yang sangat unfriendly
dan kenyataan bahwa terkadang susah sekali menemukan orang yang respek kepada tiap
orang disekitarnya di kota ini.
Mengutip Samuel Mulia (kolumnis favorit saya di Kompas), setiap orang terkadang lupa untuk
menempatkan diri, entah itu di Ruang Publik atau Ruang Privat. Yang kerap
terjadi, terkadang kebiasaan di Ruang Pribadi dibawa ke Ruang Publik. Seperti misalnya
di kota ini, ketika saya sedang mengantri untuk membayar belanjaan di toko,
beberapa pembeli dengan seenaknya terus saja menyela antrian. Sampai-sampai
saya mesti protes kepada petugas di kasir yang tak menegur ataupun mengingatkan
pembeli-pembeli “buru-buru” sepeti itu. Contoh lain, sewaktu saya sedang
bersama teman-teman untuk makan di salah satu Mall besar di Surabaya. Meskipun
saya telah berdiri tepat di hadapan petugas yang melayani order makanan, namun
petugas tersebut tak kunjung menanyakan order pesanan saya. Tetapi beberapa
orang di sebelah antrian saya malah lebih cepat ditangani. Saya kemudian
curiga, jangan-jangan saya berdiri tidak dalam koordinat yang benar untuk
melakukan pemesanan. Atau mestinya ada keterangan di situ bahwa yang akan
dilayani hanya yang berdiri tepat di arah Barat Daya atau Bujur Timur dari meja
kasir sehingga jelas persoalannya. Ketika akhirnya saya dilayani, petugas
restauran itu juga ketusnya bukan main. Padahal seingat saya, saya berniat mau
membeli paket makanan itu, bukannya meminta.
Pengalaman konyol seperti itu juga sering saya alami di
bandara. Sekalipun saya telah berdiri setengah jam lebih hanya untuk check-in, namun ada saja dua-tiga calon
penumpang yang menyela antrian. Yang paling parah ketika tiba giliran saya
untuk check-in, ada saja beberapa
orang yang dengan tergesa-gesa menyerobot giliran saya. Saya lantas jadi
curiga, jangan-jangan saya tak kelihatan. Lucunya, kekonyolan penumpang pesawat
ini berlanjut hingga ke ruang tunggu. Ketika boarding diumumkan, seluruh penumpang umumya akan berlarian masuk
ke kabin seakan khawatir tak kebagian seat
didalam pesawat. Padahal sepengalaman saya, selalu ada nomer kursi yang
dicantumkan didalam boarding pass.
Pengalaman di jalan raya lebih parah lagi, walaupun menerobos
lampu lalu-lintas di sebagian besar kota di Indonesia dianggap sudah biasa.
Namun di Surabaya, sebagian kecil warganya justru tidak terlalu sabar untuk
menunggu lampu hijau. Bahkan di beberapa waktu, saya kerap menyaksikan mereka
menyela kendaraan dari arah berlawanan untuk melintas, padahal sebagian besar
orang lainnya tengah menunggu dengan sabar. Yang unik, sebagian kecil
pengendara itu lebih senang menunggu tepat di tikungan ketimbang dibelakang “garis
putih” penyeberangan. Padahal, sangat berbahaya (menurut saya) jika kita
menyela arus kendaraan seperti itu, karena selain hanya akan menambah kemacetan
yang (biasanya) sudah parah, peluang terjadinya kecelakaan juga akan semakin
besar.
Ah ya! Bicara soal (hampir) celaka, saya justru punya
pengalaman seperti itu. Kejadiannya ketika saya dan teman-teman sesama
pelatihan hendak menyeberang di Jalan Raya Gubeng yang terkenal sering macet
itu. Walaupun kami berempat telah berjalan di zebra cross dan mengangkat tangan tinggi-tinggi pertanda minta
jalan, tetap saja arus lalu lintas di situ berlari kencang. Ketika tiba di
tengah-tengah jalan, sebuah Innova hitam terus saja melaju tanpa peduli posisi
kami di yang berada di tengah. Hampir saja hari itu kami berempat celaka.
Untunglah kami berhenti di tengah jalan untuk membiarkan mobil itu melaju
duluan.
Peristiwa
seperti menyerobot antrian atau mengemudi seenak udel itu (tentunya) bukanlah sesuatu yang menunjukkan rasa hormat
kita terhadap seseorang. Tetapi lebih menginterpretasikan diri kita sebagai
sosok yang tak tahu diri. Namun, terkadang kita perlu orang-orang selfish seperti itu dalam kehidupan.
Baik sebagai pembeda akan diri kita dan mereka maupun sebagai “penguji” akan
sikap kedewasaan kita yang (biasanya) sulit diukur. Wallahualam Bis Sawab
No comments:
Post a Comment